Home » , » Syadziliyah

Syadziliyah

Peta Tulungagung

Diriku adalah orang awam yang tidak banyak tahu tentang Islam, bukan juga seorang yang banyak ibadah, bahkan diriku adalah seorang yang masih sering terseret oleh hawa nafsuku. Belajarku tentang Islam hanyalah dari sepnajang jalan yang kulalui selama ini, tidak pernah secara khusus, detail ataupun secara terstruktur. Tetapi satu hal yang sangat-sangat kusyukuri adalah bahwa aku menemukan tarekat / thoriqoh ini, ya... tarekat Syadziliyah / thoriqoh Syadziliyah. Lebih bersyukur lagi bahwa diriku tidak usah mencari lagi sumber dari thoriqoh ini sebagaimana mugkin orang lain yang harus mengalami perjalanan panjang dalam mencari sumber thoriqoh ini, sumber yang jernih dan dapat menjernihkan qalbuku. Sumber itu adalah mursyid kamil dan mukammil dari pondok PETA Tulungagung yang kebarokahannya senantiasa dapat kurasakan. Mulai dari Syaikh Mustaqim bin Husein, Syaikh Abdul Jalil Mustaqim dan yang sekarang Syaikhina wa Mursyiduna wa Murrobi Ruhina Syaikh Charir Muhammad Sholahuddin Al Ayyubi bin Syaikh Abdul Jalil bin Syaikh Mustiqiem bin Husein.

Diriku bukan juga seorang yang paham tentang seluk beluk tasawuf, detil-detil sufi dan pernak-pernik thoriqoh, tetapi memang bahwa IHSAN sebagai inti dari ajaran / agama Islam tidaklah cukup hanya diwacanakan atau diretorikakan belaka tanpa dijalani. Tasawuf sebagai ilmunya Ihsan tidaklah cukup hanya dengan dipelajari, direnungkan, diresapkan dan diterapkan tanpa disertai amaliyah thoriqoh karena hanya bagaikan seorang yang belajar ilmu pertanian tanpa pernah menanam secara nyata apalagi memetik hasilnya, tentu saja tidak mungkin. Bahkan ada kemungkinan, banyak tidak mengertinya tentang apa yang dipelajari di tasawuf bila tanpa disertai amaliyah thoriqoh.

Yang kutahu dan selama ini kurasakan bahwa thoriqoh Syadziliyah khususnya dari Pondok PETA Tulungagung adalah suatu thoriqoh yang sama sekali tidak membebani pengamalnya, bahkan bisa dikatakan amalan rutin hariaannya ringan, kalau dilaksanakan minimalnya paling hanya memakan waktu tiga puluh menit sampai empat puluh lima menit saja sehari (he... he... ini sih tipe minimalis, koyo aku). Diawali dengan membaca Al Fatihah lillahi ta’ala, syahadat seratus kali, takbir seratus kali, kemudian hadhoroh fatihah sesuai yang ditentukan, istighfar seratus kali, sholawat syadziliyah seratus kali, tahlil seratus kali, doa dan dilanjutkan hizb bahar. Hal yang ringan itu sering kali terasa sangat berat jika hawa nafsu sudah beraksi dengan rasa malas, capek, ngantuk, bosan serta seribu alasan lain untuk tidak mengamalkannya. Tentu saja dalam hal ini memang perlu terus latihan dan terus perbaikan. Di sinilah arti pentingnya jama’ah, sehingga ada yang menyemangati dan saling berbagi dan bisa saling belajar dari yang lain. Karena itu kesempatan untuk khususiyah atau pun pengajian sangat penting sekali artinya, disamping menjalin komunikasi antar jama’ah.

Alhamdulillah walaupun diriku merupakan tipe minimalis dalam ibadah (maklum ndableg puoll) tetapi barakah dan manfaat dari thoriqoh Syadziliyah yang kulakoni senantiasa dapat kurasakan. Tentu saja hal ini sama sekali tidak bisa terlepas dari barakah doa seorang mursyid yang kamil dan mukammil yang selalu membimbing secara ruhani, karena bila seorang mursyid tidak dalam kualifikasi kamil mukammil, tentu saja hal tersebut tidak mungkin terjadi. Bahkan barakah dan manfaat itu tidak saja untuk diriku sendiri tetapi alhamdulillah juga terpancar dan dapat dirasakan untuk keluarga dan teman/sahabat yang sering berhubungan denganku. Bagaimana pun situasi dan kondisi yang ada, insya Allah selamat. Mau kesasar seperti apa pun, rasanya ada yang menarik dan meletakkan kembali ke rel yang semestinya.

Memang untuk mendapat keridhoan Allah dan untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya yang bukan hanya dalam tataran intelektual (ilmul yaqin) saja melainkan sampai ‘ainul yaqin bahkan haqqul yaqin itu perlu perjuangan yang tiada pernah berhenti. Tetapi dengan mengamalkan thoriqoh yang bersumber dari mursyid yang kamil dan mukammil, insya Allah perjuangan itu akan tertata dengan baik, terarah dengan pasti dan terlindungi dari segala tipu daya yang menyertai perjuangan itu. Peliknya ilmu tasawuf jika dipelajari setelah mengamalkan amaliyah thoriqoh, insya Allah akan lebih mudah dipahami dan memang insya Allah nantinya akan mengerti dengan sendirinya. Pemahaman-pemahaman baru dengan sendirinya akan bermunculan, semakin lama semakin dalam dan begitu seterusnya.

Satu hal yang mendasar yang selalu diajarkan dan harus terus menerus dilatih adalah dzikir dalam hati : ALLAH... ALLAH..., karena memang sebenarnya hanya Allah yang ada, dariNya kita berasal dan kepadaNya kita akan kembali. ALLAH saja titik.

Kusadari bahwa diriku masih dalam taraf belajar dan berlatih apalagi masih minimal baik dalam kualitas maupun kuantitas ibadahku, walaupun demikian barakah dan manfaat dari ngelakoni thoriqoh Syadziliyah ini yang bisa kurasakan salah satunya adalah dorongan dari dalam hati untuk terus menerus memaknai kembali apa pun yang kualami dalam kehidupan sehari-hari. Pemaknaan yang berujung pada satu kesimpulan bahwa ternyata memang Allah selalu hadir dalam keseharian hidupku, hanya buramnya hatiku saja yang sering menyebabkan diriku belum bisa secara langsung merasakan kehadiranNya. Pemaknaan itu juga bisa berarti ngeh terhadap apa yang pernah kupelajari tetapi pada saat itu aku belum memahaminya, sering dalam hati berkata, “Oh... ternyata ini to yang dimaksud”. Pemaknaan itu berarti juga suatu koreksi terhadap kesadaran hatiku dalam menyikapi sesuatu, misalnya dulu sering heran pada diriku sendiri yang merasa masih minimalis dalam ibadah tetapi kok anugerah Allah rasanya tidak sebanding dengan ibadahku, eh... ternyata sikap heranku itu sesuatu yang salah karena anugerah itu hak prerogratifnya Allah sama sekali tidak tergatung oleh amaliyahku dan juga kalau diriku masih heran itu salah satu tanda kalau aku masih bergantung dari amaliyahku sendiri dan seterusnya, panjang pembahasannya. Pemaknaan-pemaknaan itu beberapa di antaranya yang sering kutuliskan di BLOG ini yang sebenarnya sebagai sarana berkaca diri menandai titik-titik yang sudah pernah kulalui, karena itu sering kubaca ulang tulisanku sebagai sarana refreshing mental agar tetap SEMANGAT, terus BERJUANG dan BERLATIH jadi orang baik.

Dari Laku dan Sikap Hati Murid Syadziliyah pondok PETA Tulungagung ternyata intinya diajarkan dan dilatih untuk selalu memiliki kepasrahan total kepada Allah dalam arti bahwa hati isinya hanyalah Allah dan selalu menjaga adab kepada Allah baik dalam ibadah vertikal maupun ibadah horisontal yaitu dengan selalu berhusnudzhon dan menyintai Allah dan Rasul-Nya yang merupakan masa depan kita sehingga tidak ada rasa takut, sedih dan khawatir karena dibalik segala sesuatu hanya Allah semata, juga tidak boleh ada penyesalan atas apa pun yang telah terjadi di masa lampau yang hanya akan membelenggu kerja keras ikhtiar kita dalam memenuhi tanggung jawab sosial kemasyarakatan kita.

Di pondok PETA ada satu tulisan yang ditempel di dinding : YEN KEPINGIN NOTO ATI, TOTONEN... SANDAL, BAQIYAK, SEPATUMU DISIK, IKI CONTONE. Kelihatannya sepele bahwa kita diajarkan untuk menata alas kaki kita secara rapi, tetapi hal tersebut sungguh dalam dan luas dalam aplikasinya. Bagaimana bisa menata hati yang dimensinya tidak kelihatan kalau menata hal-hal yang kasat mata di sekitar kita saja tidak bisa, mungkin itu salah satu maknanya. KERAPIAN dan KEBERSIHAN itu kata kuncinya, satu hal yang harus diperhatikan oleh seorang murid Syadziliyah, dimulai dari hal-hal yang sering dianggap sepele seperti kerapian rambut, pakaian, meja kerja, ruang kerja dan sebagainya.

Yang kutahu, kalau tidak salah Syaikh Abdul Jalil Mustaqim pernah dawuh, ”Simpanlah Allah-mu seperti menyimpan cacat-cacat dirimu”. Dawuh tersebut rasanya berkaitan erat dengan dawuh Beliau yang lain bahwa menjadi orang thoriqoh itu di rumah saja. Dalam pemahamanku, berarti murid Syadziliyah diajarkan untuk memposisikan amaliyah thoriqohnya sebagai ibadah vertikal yang sangat personal, sehingga dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hal tersebut sebisa mungkin tidak tampak, harus biasa-biasa saja sebagaimana orang-orang yang lain. Penampilan pun harus biasa-biasa saja sesuai profesi masing-masing yang penting rapi dan bersih, tidak berlebihan seperti misalnya selalu bersurban, menggenggam tasbih, berdahi hitam atau yang lainnya. Hal ini kulihat sendiri, salah satunya ketika ada acara mantenan adiknya syaikhina di Tulungagung, Syaikhina Sholahuddin memakai stelan jas warna keunguan, bersepatu vantaufel mengkilat, tampak sangat ganteng dan rapi, jauh sekali dari sosok kiai-kiai atau bahkan wali sebagaimana yang divisualkan di sinetron yang terlalu mengada-ada. Thoriqoh Syadziliyah memang sangat personal, mungkin karena saking personalnya itulah sehingga banyak kiai-kiai besar yang tidak pernah membuka diri bahwa beliau-beliau itu murid Syadziliyah bahkan keluarga dan para santrinya tidak tahu. Di antara para kiai besar yang menjadi murid thoriqoh Syadzilyah adalah Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, Syaikh Wahab Hasbullah, Kiai Dzajuli Ploso, Kiai Zainudin Mojosari, Kiai Soleh Langitan, Kiai Ma’shum Lasem dan Syaikh Kholil Bangkalan.

Satu hal lagi yang kuanggap penting untuk diketahui, bahwa setelah menjadi murid Syadziliyah PETA Tulungagung seluruh amalan khusus di luar yang diberikan oleh Mursyid atau yang ditunjuk oleh Beliau harus dihentikan. Apalagi yang sebelumya punya ilmu kesaktian, ilmu hikmah atau pun yang lain harus dilepaskan karena tidak ada barakan manfaatnya dalam skala dunia akhirat. Thoriqoh Syadziliyah lebih agung dari itu semua. Apa sih yang bisa melebihi keridhoan Allah ?

Ya... mungkin itulah beberapa yang bisa kutulis sekedar untuk berbagai pengalaman. Semoga bermanfaat.
Mung SAK DERMO nglampahi perintahing Gusti, Ninggal laranganipun Gusti, Ngentosi di timbali Gusti...