Belajar dan berlatih lagi menelusuri untuk mengerti dan memahami jiwa yang disematkan di dalam badan wadag ini.
Sebab jiwa tidak kasat mata, maka untuk mengerti dan memahaminya pun perlu perangkat yang tidak kasat mata pula, yaitu RASA.
Hari
ini aku menemui marah di dalam jiwaku, sebuah perasaan yang sangat
tidak nyaman di dada. Detak jantung bertambah cepat, nafas pun menjadi
pendek. Sebuah perasaan yang sangat menguras energi.
Kutemui
pula bahwa di balik semua perasaan yang silih berganti masuk di dalam
dada, biasanya dilandasi oleh rasa "suka/tidak suka".
Rasa
suka atau tidak suka inilah yang menyebabkan aku tidak pernah bisa
untuk OBJECTIF dan selalu saja SUBJECTIF dalam menilai segala sesuatu. Itu aku, saya yakin kalau Panjenengan tidak, Tidak beda maksudnya. he..he..he.. maap...!!!
Kucari
marah yang terdekat denganku di lingkungan terkecilku, sebab marah yang
jauh dan di lingkungan yang lebih luas pun kalau dicari esensinya pasti
sama.
Ya... marah sama anakku. Di antaranya karena enggan dalam hal BELAJAR (padahal aku dulu juga begitu...).
PERTAMA
Aku marah karena aku tidak suka, di sisi lain anakku enggan belajar karena dia suka. [Perlu diverifikasi lagi tentang ketidaksukaanku ini, nanti].
Persepsiku,
enggan belajar adalah hal yang tidak baik, maka aku MARAHi dia, karena
aku berpikir kalau aku marahi dia maka dia akan jadi baik dengan rajin
belajar. Namun di situlah letak keLALAIanku.
Andai
dengan marah-marah sesuatu yang tidak baik akan menjadi baik, maka
rasanya tidak perlu waktu lama untuk mengubah wajah DUNIA menjadi lebih
BAIK. Marahi saja orang-orang yang dianggap tidak baik.
Di satu sisi aku tidak suka terhadap keENGGANan untuk belajar dan aku merasa bahwa ketidaksukaanku tersebut adalah suatu hal yang BENAR.
Di
sisi yang lain, anakku merasa tidak suka untuk belajar dan menganggap
hal itu bukan sesuatu yang salah, sebab mungkin menurutnya meski tidak
belajar yang penting dia bisa mengerjakan soal-soal ujian dan bisa naik kelas.
Nah,
kalau seperti itu berarti benar itu RELATIF, sebab rasa benarku berbeda
dengan rasa benar anakku dan aku tidak bisa merasakan rasa benarnya
anakku.
Kalau suka itu benar sebaliknya kalau tidak suka berarti salah. Berarti pula rasa benarku itu subyektif alias "BENERku DEWE".
BERARTI.....
rasa suka atau tidak suka telah menghalangiku untuk bersikap obyektif,
adil dan apa adanya & bukan ada apanya (pamrih). Kalau pada contoh
ini pada anakku, maka di luar itu ketidak-adilanku pasti lebih luas dan lebih berat lagi kadarnya.
KEDUA
Aku sering mengatakan kalau marahku itu karena CINTA, KASIH & SAYANGku. Aku sering mengatakan pula kalau anakku baik tentunya juga untuk dirinya sendiri nantinya.
Namun pada kenyataannya cinta, kasih dan sayangku itu belumlah TULUS, sebab diam-diam ada PAMRIHku sendiri meski sebenarnya aku juga tidak mau mengAKUi...!!!!
Kalau
anakku RAJIN belajar dan lancar studinya apalagi kalau dapat memenuhi
berbagai ASA-ku kepadanya, maka setidaknya aku sebagai orang tuanya
akan merasa BANGGA.
Dia tidak menjadi BEBAN pikiranku dan dapat mandiri lepas dari tanggung kewajibanku. Itulah harapanku tentang "BAIK" darinya.
Maka
saat harapanku itu kelihatannya akan SULIT terpenuhi, marahlah aku
dengan mengATAS-NAMAkan cinta, kasih dan sayang, bahkan mungkin ATAS
NAMA Tuhan dengan berlindung di balik eksistensiku sebagai orang tua.
Apa masih pantas dikatakan cinta, kasih dan sayang saat semua itu terbatas atau dibatasi oleh :
"Syarat & ketentuan berlaku?“
Kalau
mau menyelami rasanya anakku, sebenarnya sama dengan rasaku, dia pun
berharap banyak kepadaku sebagai ayahnya. yaitu kebanggaannya dan orang
yang diharapkan memenuhi
kebutuhannya. Bukankah sebagaivorang tua aku juga tak selalu
membanggakan dan tak selalu pula bisa mencukupi semua kebutuhannya.
BERARTI....
sebenarnya antara anak dan orang tua sama rasanya, saling
memanfaatkan. Kenyataan ini memerlukan keTABAHan; yaitu kesungguhan dan
keberanian melihat segala sesuatu secara apa adanya terlepas dari rasa
suka atau tidak suka.
KIRA-KIRA
Marah harus tanpa amarah, tidak meledak-ledak apalagi kalau hawanya sudah meRUSAK. Dalam
arti sekedarnya saja dengan menelusuri asal muasal perasaan marah itu
dan sekaligus menelusuri perasaan dari dia yang menjadi obyek kemarahan.
Saat
hakikat marahku yang sedang melanda diriku berhasil aku pahami dan juga
dengan merasakan rasanya dia hingga merasakan rasa yang sama, maka
marahku itu biasanya akan reda, sirna dan malah berubah menjadi cinta,
kasih dan sayang yang tulus serta menentramkan jiwa.
-----------------------------------------------
***(Sakmadyo
wae, dalam arti kita harus menyediakan ruang yang luas bagi anak kita.
Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani.
Selalu
memberi contoh, pandangan, pendapat yang bermuara pada kebaikan dalam
skala dunia akhirat, sambil membangun, memotivasi daya rasa, karsa dan
cipta anak, serta mengikuti, mewadahi PILIHAN anak agar tetap MAMPU
memberdayakan dirinya atas apa yang dipilihnya)*** by : den Bagus