Sudah berkali-kali
aku ke sini, namun tiap kali aku ke sini, tiap kali pula berdebar hati.
Memasuki gerbangnya,seakan memasuki gerbang jiwaku sendiri yang aku masih asing
terhadapnya, sebab tak ada yang menghuninya kecuali nafsuku sendiri.
Saat kesucian menjadi
prasyarat menghadapNya, sungguh terasa diriku masih dipenuhi lumuran kekotoran
yang tak hanya di badan namun juga yang tersembunyi di sudut-sudut kedalaman
jiwaku sendiri. Jadilah lisanku, gerak-gerikku, pikiranku, prioritas hidupku dan
yang terutama adalah nafsuku selalu berlawanan dengan kata hati terdalamku.
Dzikirku lalai hingga tak kunjung membaikkan akhlaqku kepada sesamaku, terlebih lagi terhadap GUSTIku. Belum menjadi dzikir yang menancap di kedalaman hati.Masih merasa bisa berdzikir, padahal nyatanya di dzikirkan.
Teramat sering lalai bahwa GUSTI selalu mengawasi hingga seenaknya
sendiri dan tak juga beradab kepadaNYA walau pun mengaku abdi. Padahal, yang
sesungguhnya abdi adalah dia yang selalu menjaga adab terhadap GUSTInya.
Maka penyesalanku
pun berkali-kali, namun tak juga membuatku mendekat padaNYA, tak segera
berusaha mengenalNYA agar bisa mengajak sesama untuk mengenalNYA pula.
Jalan cinta yang memang seharusnya ditempuh, sebab cinta terletak di
atas akhlaq dan akhlaq terletak di atas syariat. Besyariat karena cinta,
berakhlaq pun karena cinta.
Maka kepada
siapa lagi diri ini memohon bimbingan, kalau tidak kepada para
kekasihNYA yang tak tergoda sedikit pun untuk durhaka kepadaNYA. Yang
dalam diri mereka tak ada kecemasan dan kesedihan sedikit pun, sebab
dunia ini sudah selesai bagi mereka, dunia ini kecil. Hanya DIA yang
besar, yang tak sedetik pun berjeda dari memandangNYA dan mengingatNYA.
Bimbingan dari
kekasihNYA, bukan dari mereka yang menjual namaNYA atau bahkan mereka
yang merasa menjadi TUHAN, mereka yang tak pernah selesai dengan dunia.
Dajjal kecil.
| 05.04.2014 |