Home » , » SANDAL jepit

SANDAL jepit

Tidak mudah bagi saya untuk menulis, demikian juga untuk bicara. Bukan dalam hal menulis itu sendiri atau dalam hal berbicara, saya dimampukan untuk itu, bahkan membawakan materi workshop selama 8 jam pun pernah saya lakukan tanpa kehitangan kata-kata, tanpa kehilangan keseriusan, tanpa lepas dari humor-humor ringan yang menyegarkan dan tanpa membuat peserta workshop menjadi bosan. 
Yang membuat tidak mudah bagi saya adalah pertanggungjawaban saya terhadap apa yang saya tulis atau pun apa yang saya bicarakan atau sampaikan kepada orang lain.
Saat saya sudah melalui dan juga sudah melakukan sesuatu sebagai sebuah laku, maka apa pun yang saya tulis mengenai hal tersebut akan sangat mudah dan cepat untuk menyelesaikannya, meski secara spontan tanpa berpikir. Namun tidak demikian bila saya belum mantab dalam laku saya, tulisan itu pasti akan tersendat, berhenti dan kemudian akan turun contoh soalnya yang harus saya lalui hingga benar-benar saya menyadarinya dan meresap dalam kesadaran saya.
Saya jadi ingat kalau Gusti Allah mempertanyakan kepada manusia tentang apa yang dikatakannya namun tidak diperbuatnya [Q.S. 61:2] juga tentang mengapa manusia menyuruh manusia lain bebrbuat kebajikan sedangkan dia sendiri melalaikan kewajibannya [Q.S. 2:44] ?
Saya jadi ingat juga bahwa Gusti Allah tidak akan membiarkan manusia hanya mengatakan telah beriman, padahal mereka belum diuji [Q.S. 69:2].
--------------------
Bulan lalu Desember 2015 lalu kebetulan mengajak teman-teman kantor di tempat saya bekerja untuk sharing sekaligus briefing secara berkelompok dan bergantian sekaligus menambah wawasan ~ open mind ~ tentang kondisi konsumen Surabaya dengan keliling ke café-café baru yang cozy yang semakin menjamur di Surabaya.
Kebetulan pula saya yang ketiban sampur ngomong paling banyak [he… he… he… jatah minum double], di samping berdiskusi tentang info-info terbaru perusahaan, merespon apa yang menjadi atensi mereka juga sekaligus memotivasi dan mendongkrak sikap dan mental kerja teman-teman agar lebih profesional dan siap dalam menghadapi tantangan dalam situasi dan kondisi yang selalu dan sangat dinamis.
Saya ingat dalam 3 grup yang berbeda, salah satu kerangka berpikir yang saya sampaikan adalah melu handarbeni atau ikut memiliki perusahaan, sebab perusahaan adalah sinergi dari semua unsur dan aspek yang ada di dalamnya, sinergi antara owner dan karyawan, sinergi dari berbagai sumber daya yang membangunnya, serta sinergi antara dari penawaran perusahaan dan permintaan konsumen perusahaan itu sendiri. Rasa ikut memiliki perusahaan menurut saya sudah seharusnya dimiliki oleh seluruh karyawan sebab tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan tempat kita bekerja adalah salah satu alamat sampainya rejeki dari Gusti Allah sehingga jangan sampai acuh padnya apalagi kalau sampai tidak senang dan tidak gembira saat bekerja di dalamnya, jangan sampai juga bersikap negatif di dalamnya karena itu berarti sikap yang tidak ksatria dan lebih jauh itu adalah sikap yang kufur nikmat padaNya.
Kalau sistem perusahaan fair, semua yang di dalamnya bergerak sesuai norma-norma yang baik dan masuk akal, serta ada upaya yang terus-menerus dan berkelanjutan dalam perbaikan dan pengembangan perusahaan, kemudian ada yang merasa tidak cocok, mengapa tidak keluar saja dari perusahaan secara ksatria ? Daripada mengumpat, black campaign, tapi tetap terus bernaung di bawahnya ?
Sehubungan dengan hal itu, saya mengibaratkan perusahaan adalah rumah kedua bagi semua yang bernaung di dalamnya, sebab keluar dari rumah, mau ke mana kalau tidak ke tempat bekerja ? Sebaliknya juga demikian, selepas kerja mau ke mana kalau tidak pulang ke rumah ? Maka sudah sepantasnyalah seluruh karyawan juga ikut menjaga tempatnya bekerja dan seluruh asetnya sebagai rumah kedua sebagaimana mereka menjaga rumahnya sendiri. Jangan biarkan meja kerja kacau tidak tertata, jangan biarkan sampah berserakan di mana-mana, jangan biarkan perabot yang ada tak berartuiran, jangan biarkan toilet tercium aroma tak sedap, jangan biarkan semua mesin terpakai dengan sembrono, jangan biarkan air dan listrik terbuang sia-sia, jangan acuh terhadap segala bentuk penyelewengan dan sebagainya. Peka dan sadar itu kata kuncinya.
Ikut memiliki dalam batas kewajaran, bukan yang kebablasan. Maka saya mencontohkan, ibarat masjid yang menjadi rumahnya umat Islam ya harus dijaga dan dirawat bersama, namun jangan sampai kebablasan dengan terlalu merasa memiliki sehingga keluar dari masjid bawa microphonenya masjid, bawa sajadahnya masjid, tukar sandal yang bagus atau nyangking sepatu bermerek.
Tiga kali saya mencontohkan hal itu pada tiga grup yangberbeda, sekedar sebagai contoh. Namun apa yang terjadi ? Hari Jum’at kemarin, tanggal 1 Januari 2016, saat saya sholat Jum’at di masjid komplek perumahan sebelah, sandal jepit saya hilang, berganti tuan. Ya sudahlah… sudah benar adanya, saya terima dengan penuh syukur dan cinta bahwa sandal saya akan memberikan manfaat untuk tuannya yang baru.
Tak ada kejadian yang kebetulan, semua merupakan refleksi dari perasaan, pola pikir, fokus perhatian, sikap dan perbuatan termasuk ucapan serta tulisan yang intens namun terlupakan. Ini merupakan sebuah mekanisme sunatullah, bahwa apa pun yang tervibrasikan dari dalam diri saya akan terkoneksi oleh hal-hal yang sama di alam semesta, kemudian diperkuat atau diresonansi dan akhirnya akan direfleksikan atau dipantulkan lagi ke diri saya.
Maka meskipun saya tidak mempunyai niatan khusus atau atensi negatif terhadap apa yang saya ucapkan karena hanya member permisalan, nyatanya hal itulah yang terjadi. Saya yang menabur maka saya pula yang menuai.
Ha… ha… ha… maka pada sesi berikutnya pun contohnya saya ubah. Masjid adalah rumahnya ummat Islam, maka sudah sepantasnyalah ummat Islam merasa ikut memiliki masjid sehingga #saya sangat senang bisa membangun dan memperbaiki masjid, melengkapi peralatannya dan membiayai takmir dan marbot masjid untuk umroh. Aamiin.
Bagaimana ya rasanya kalau seperti itu ? by : den Bagus.
Mung SAK DERMO nglampahi perintahing Gusti, Ninggal laranganipun Gusti, Ngentosi di timbali Gusti...