PETA Tulungagung |
Bahkan Musa pun harus berguru pada Khidir. Musa dengan kecerdasan intelektualnya dalam berislam dan dengan kecerdasan spirirualnya dalam beriman, nyatanya masih belum cukup pengenalannya terhadap Allah yang selama ini diabdinya. Musa belum cukup berihsan, hingga Allah memerintahkannya untuk berguru pada Khidir di pertemuan dua lautan, yaitu lautan syariat dan lautan hakikat.
Secerdas apa pun manusia, dia tidak akan pernah bisa menyentuh hakikat Tuhannya. Sebab bagaimana mungkin Tuhan yang maha tak terbatas hendak dipahami oleh otak dengan pikirannya yang sangat terbatas ? Otak dengan pikirannya, dengan logikanya maksimal hanya bisa menyimpulkan ada suatu kekuatan yang mengatur apa pun di balik semesta yang dilihatnya, itu saja. Setinggi-tinggi pengetahuan manusia, dia tidak akan pernah melahirkan agama, dia hanya sanggup melahirkan budaya. Filsafat pun tak juga bisa menyentuh hakikat ketuhanan.
Hanya hati yang tersucikan olehNya sajalah yang mampu melihatNya secara apa adanya DIA, bukan secara apa yang dipersepsikan oleh pikirannya.
Dulu Kanjeng Rasul Muhammad, sekaligus menjalanakan tiga tugas utamanya (Q.S. al-Jum'ah 2), yaitu :
- Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit', dan meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.
- Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.
- Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).
Sekarang tilawah sudah digitalisasi, pun demikian juga dengan taklim. Semua orang sangat mudah mendapatkan dan mengakses kedua hal itu. Namun siapa yang bisa mentazkiyah jiwa mereka. Dulu Kanjeng Rasul Muhammad mentazkiyah dulu jiwa para sahabat sebelum mentaklim, sehingga keimanan para sahabat benar-benar tiada tanding dan tiada banding, namun sekarang… apakah para mubaligh bisa melakukannya ? Apakah para ustadz, terlebih lagi ustadz selebriti hasil bentukan industri media bisa melakukannya ? Apalagi mereka yang dengan kesombongan intelektualnya merasa sanggup berguru pada Allah dengan jargon kembali pada Qur’an benar-benar bisa memahami secara sempurna dan paripurna kandungan Al Qur’an baik yang tersirat atau pun yang tersurat ?
Sungguh… hanya ulama pewaris Nabi ~ warosatul anbiya’ ~ yang meneruskan tiga tugas utama tersebut. Ulama yang tak berbicara bedasarkan nafsunya, ulama yang telah berhasil memenangkan dirinya atas nafsu keulamaannya dan ulama yang tidak ingin dibenarkan manusia atas ucapannya karena baginya Allah saja sudah cukup untuknya.
Maka sungguh benarlah bahwa hanya yang diberi 'petunjuk' saja yang bisa menemukan "warosatul anbiya'" dengan mendapatkan seorang waliyullah yang Mursyid (Q.S. Al Kahfi 17). Seorang Mursyid yang Kamil atau bahkan Kamil mukamil. Seorang Mursyid tentulah waliy, namun seorang waliy belum tentu seorang Mursyid.
Hanya seorang Mursyidlah yang wenang mentazkiyah jiwa muridnya, menanam biji iman untuk diolah, dipupuk dan dirawat agar tumbuh berkembang dan berbuah makrifatullah dan mulianya akhlaq. Seorang Mursyid yang Haq mata rantai silsilah pendidikannya hingga ke Kanjeng Rasul Muhammad.
Karena berislam pun aku masih tak mampu, apalagi beriman juga belum terjangkau, terlebih lagi berihsan yang masih berupa khayalan, maka kuwajibkan diriku bermursyid.
ALLAHUMMA SHALLI 'ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN 'ABDIKA WA NABIYYIKA WA RASUULIKA-NNABIYYIL UMMIYYI WA 'ALA-AALIHI WASHAHBIHI WASALLIM TASLIIMAN-BIQODRI ADZOOMATI DZAATIKA FI KULLI WAQTIN WAHIIN.
by : den_Bagus.